MALIOBORO YOGYAKARTA SEJARAH HINGA MENJADI DESTYNASI WISATA POPULER|| TINTA 69


Katanya belum ke Yogyakarta kalau belum mampir ke Malioboro.
Malioboro terletak di jantung kota yogyakarta menjadi kawasan ikonik dan andalan wisata yogyakarta yang mungkin paling diingat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di malioboro pengunjung bisa berbelanja cendera mata dan makanan khas Jogja sambil menikmati alunan musik angklung jalanan.
Namun, tahukah Anda dari mana asal-usul nama Malioboro?

Ada beberapa versi yang menguak ceritanya. Sebenarnya banyak filosofis sejarah nama Malioboro, namun kami rangkum asal-usul nama Malioboro yang paling banyak diungkapkan oleh sejarawan dan buku yang beredar.

Berikut beberapa versinya, dikutip dari arsip pemberitaan Harian Kompas & Hipwee :

1. Banyak orang menganggap bahwa nama Malioboro berkaitan dengan nama seorang tokoh militer Inggris, Marlborough. Karena pengucapan kata “Marlborough” dianggap terlalu sulit, maka orang mengucapkannya dengan Malioboro.

Hal itu didasarkan pada sebuah catatan sejarah yang mengatakan bahwa Kraton Yogyakarta di zaman Sultan Hamengku Buwono II pernah dirampok oleh pasukan Inggris. Peristiwa perampokan itu dikenal sebagai Geger Sepehi pada tahun 1812. Akan tetapi, benarkah ada perwira Inggris bernama Malborough yang pernah datang ke Yogyakarta? Raffles, dalam bukunya The History of Java (1817), tidak satu halaman pun menyebut nama Marlborough. Meski demikian, nama itu memang pernah ada di Inggris, tetapi ia telah meninggal pada tahun 1722, sebelum peristiwa Geger Sepehi. Terkait dengan asal-usul yang pertama ini, banyak sejarawan yang mempertanyakan keabsahannya, tentu saja dengan berbagai bukti pembanding.

2. Selanjutnya Nama Malioboro juga dipercaya berasal dari kata Malyabhara, dalam bahasa Sansekerta berarti menyajikan karangan bunga.

Dalam bahasa Sansekerta, Malya berarti karangan bunga dan bhara berarti menyajikan. Kata Malyabhara ditemukan dalam buku Ramayana asli. Muncul juga dalam Ramayana versi Jawa dari abad ke-9 dan ke-10, yaitu dalam buku Adiparwa dan Wirathaparwa. Tak hanya itu, nama tersebut juga dijumpai dalam buku Parthawijaya dari abad ke-14 dan dimunculkan kembali dalam Dharmasunya yang ditulis di Kartasura pada tahun 1714. Beberapa sejarawan meyakini, kata “Malyabhara” menginspirasi Sultan Hamengku Buwono I, yang dikenal sebagai seorang perancang kota, untuk menamakan kotanya. Klaim tersebut dikuatkan dengan adanya gagasan Malyabhara sebelum perjanjian Giyanti pada 1755. Disebutkan bahwa telah berfungsinya malyabhara pada margaraja di Yogyakarta abad ke-19 dan 20 dalam upacara penyambutan kedatangan tamu-tamu pembesar Belanda dari Batavia. Di sepanjang Maliabara dipasang lengkung-lengkung papah kelapa berjanur kuning dan karangan bunga warna warni, sama seperti arti Malyabhara dalam bahasa Sansekerta.

3. Nama Malioboro disebut terdiri dari dua kata, yakni Malia dan Bara. Filosofi ini diduga yang paling kuat dipercaya oleh para sejarawan.

Bersumber dari buku profil Yogyakarta City of Philosophy terbitan Dinas Kebudayaan Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikutip dari Kominfo DIY. Malia diartikan sebagai wali, sedangkan Bara merupakan ngumbara atau menggembara. Jadi kata Maliabara secara etimologis berarti jadilah wali yang menggembara setelah memilih jalan keutamaan. Hendaknya mengikuti ajaran wali lalu menyebarkan ajarannya untuk menerangi kehidupan manusia.

Disamping beragam filosofi yang beredar, Malioboro mempunyai makna yang dalam soal tahapan yang harus dilalui manusia di dunia

Jika berpedoman pada buku Yogyakarta City of Philosophy yang menyebut arti Malioboro merupakan Wali yang Mengembara, maka hal itu sejalur dengan jalan yang ada di Malioboro. Pertama, jalan yang membentang dari arah Tugu Pal Putih ke selatan dinamakan Jalan Marga Utama, hal itu merupakan tahapan awal yang harus dilalui oleh manusia di dunia. Jalan Malioboro ialah tahapan kedua, mulai dari perbatasan rel kereta api yang ada di Stasiun Tugu Yogyakarta menuju selatan hingga perempatan pecinan Malioboro atau Toko Batik Terang Bulan.

Tak hanya sampai situ, tahapan manusia masih dilanjutkan dengan adanya Jalan Mulya (kemulian) di selatan Jalan Malioboro. Sehingga setelah diurut ketiga jalan tersebut (Jalan Marga Utama, Jalan Malioboro dan Jalan Mulya) memiliki makna bahwa setelah menemukan keutamaan hidup kemudian menyebarkan kebaikan menurut ajaran wali maka akan diperoleh jalan kemuliaan.

 

 

Postingan Populer